Seperti kebanyakan lagu-lagu melankolis yang sering kudengarkan sepulang kerja atau saat santai sendirian di sebuah rumah makan, kisahku ini tak kalah melow-nya. Bayangkan saja, bertahun-tahun mencintai seorang gadis yang ku kenal saat di bangku SMA, menceritakan ke semua orang bahwa aku menyukainya, dan setiap waktu senggang dimana aku tidak sedang beraktifitas selalu diisi oleh bayangannya. Permasalahannya, dia tidak tahu sama sekali tentang perasaanku dan parahnyanya lagi dia sedang bersama orang lain sekarang. Apalagi kalau bukan setia pada ketululan (untuk memperhalus) ini namanya. Orang yang mendengar ceritaku tentu bertanya tanya “untuk apa?”, sama sekali tak ada gunanya. Aku sendiri pun juga tak bisa menjawab pertanyaan orang itu. Yang kulakukan hanya mengikuti kata hatiku yang sampai saat ini menyuruhku untuk selalu memikirkannya. Sebenarnya bukannya tanpa perlawanan aku menghadapi kata hatiku ini. Beberapa kali aku sudah mencoba menjalin hubungan dengan beberapa gadis. Namun, selalu saja kuawali dan kuakhiri sendiri.
Kisahku ini bermula saat aku duduk di bangku kelas 2 sebuah SMA Negeri. Saat itu seperti biasa setiap tahunnya selalu diadakan perkemahan untuk orientasi siswa baru. Segalanya berjalan lancar dan menyenangkan. Usai acara kami semua tiba di sekolah dengan selamat tak kurang suatu apapun. Selesai menurunkan beberapa perlengkapan dari truk dan sedikit berbenah di kantor OSIS, aku pun bergegas pulang. Senja sudah mulai merekah di angkasa, pertanda hari akan segera gelap.
Dalam perjalanan pulang aku melihat dua orang gadis sedang bercakap. Aku mengenal wajah salah satunya. Dan wajah yang kukenal itu pun memanggilku dengan lantang “Mas Adi,” pekiknya. Benar saja dia adalah si KIKI salah satu juniorku di organisasi Pramuka. Bergegas aku menghentikan motorku dan menghampirinya. “Ada apa ki?” tanyaku. Kemudian seolah tungku yang baru saja dihidupkan, kiki pun bercerita dengan berapi-api, “Ini lho mas, si Shovi cerita kalau dia pulangnya dicampur dengan truk cowok. Masalahnya beberapa murid cowok bersikap tidak sopan. Dan lagi, dia belum pernah deket-deket cowok, jadi dia ketakukan.” Sambil mendengarkan cerita si bawel Kiki, sesekali kulirik gadis mungil di sampingnya yang sedari tadi menangis pelan sambil sesengukan.
Memang benar bahwa seharusnya murid perempuan tidak dicampur dalam satu kendaraan yang sama dengan murid laki-laki. Apalagi kendaraan yang kami sewa adalah truk, tiga buah truk tepatnya. Pastilah untuk bisa menampung semua, murid-murid harus rela berdiri sepanjang jalan. Padahal medan yang kami tempuh tidaklah mulus, melainkan bergunung-gunung dan berkelok-kelok. Aku cukup bisa membayangkan suasana yang terjadi apabila murid laki-laki dan perempuan dijadikan satu. Namun, berhubung senja sudah kian memerah kutawarkan untuk mengantarkan gadis kecil yang sedang menangis ini pulang. Dengan tegas tapi halus dia pun menolakku “Aku dijemput ayahku.” Benar juga, tentu saja gadis yang baru kaget karena dicampur murid laki-laki ini tidak mungkin mau dibonceng olehku yang juga seorang laki-laki.
Tidak berapa lama kemudian ayahnya datang menjemput dan dia pun langsung pamit dan berlalu. Melihatnya pergi, pandanganku saat itu seperti menangkap sebuah momen langka dimana di zaman yang menurutku sudah maju ini, masih saja ada gadis sepolos dia. Tanpa kusadari alam bawah sadarku merekam kejadian itu sebagai saat pertama kali aku bertemu dengannya, bidadari senja di tepi jalan.
Keesokan harinya aku mengajak seorang temanku yang juga salah satu panitia perkemahan untuk meminta maaf padanya, “Gimana Shovi? Sudah baikan?” Seperti yang kuduga dia pun menjawab dengan singkat dan langsung berlalu menuju kelasnya “Ya, sudah nggak apa-apa.”
Hari-hari berlalu dan kami hanya sesekali berpapasan, sampai pada suatu hari aku dan beberapa temanku ingin menghidupkan kembali organisasi Remaja Masjid yang sudah lama vakum di sekolahku. Dan tak kusangka aku bertemu denganya lagi. Dari organisasi ini aku dan Shovi semakin sering bertemu dalam acara kegiatan Remaja masjid. Bagiku kedekatan kami saat itu sebagai sahabat sangatlah berharga, untuk itu aku tidak ingin apapun merusaknya, termasuk perasaanku padanya.
Diorganisasi ini kami satu sama lain sangat dekat. Bagiku orang-orang dalam organisasi ini sudah seperti keluargaku sendiri. Kami menjalani masa-masa SMA bersama dan kenangan itu menjadi saat terindah yang bahkan sangat sulit untuk kulepaskan hingga aku menginjak semester tiga di bangku kuliah.
Saat di bangku kuliah aku masih sering berkirim email kepada Shovi. Kumanfaatkan layanan “5 menit pertama gratis” dari sebuah warnet di dekat kampusku. Maklum, kini aku jauh dari orangtua, sehingga harus pintar-pintar mengatur uang agar tidak kekurangan. Jauh darinya membuatku semakin sering membayangkannya. Berbagai pertanyaan selalu muncul di benakku saat aku sedang sendirian di kamarku, “Sedang apa dia?”, “Apakah kami bisa bersama nantinya?”, “Apa dia baik-baik saja?” Sampai pada suatu hari ketika aku semester tujuh di bangku kuliah, aku mendengar dari seorang kawan lama bahwa Shovi telah dilamar. Logikaku terus menyuruhku untuk melupakannya. Namun, hatiku terus menyuruhku berharap. Sampai suatu hari aku bertekad, kubayangkan diriku memasukkan semua kenangan tentang Shovi ke dalam peti dan kukunci rapat, lalu kubuang kuncinya. Mulai saat itu kuputuskan untuk berhenti mencintainya dan memikirkan segala sesuatu tentang dirinya. Bagaimana tidak, aku yang kebingungan sendiri disini memikirkannya, sementara dia mungkin sedetik pun tidak pernah mengingatku. Kuputuskan mulai saat itu aku akan membentengi diriku dari pengaruhnya.
Empat tahun berlalu, aku kini sudah bekerja di sebuah bank ternama. Sudah bertahun-tahun aku tidak lagi mendengar kabar tentang Shovi dan aku pun sudah bisa belajar mengikhlaskannya. September 2011 kuputuskan untuk datang ke acara Reuni Akbar SMAku dan seperti yang kuduga aku bertemu Shovi lagi. Namun, kini aku sudah siap bertemu dengannya. Aku yakin aku tidak akan kembali lagi mencintainya karena dia sudah menjadi milik orang lain. Saat kulihat dia untuk pertama kalinya setelah empat tahun kami lose contact kulihat ada yang berubah di dirinya. Seolah pesonanya mulai meredup tertutup mendung duka yang entah datang dari mana, karrna yang kulihat saat ini adalah sebaliknya, dia sedang tertawa. Tapi ada yang aneh di balik tawanya. Ada semacam kepura-puraan, tak lagi polos seperti dulu. Tunggu dulu, bukankah dia sudah dilamar dulu? Lalu, kenapa aku tak kunjung mendapatkan undangan pernikahan darinya? Dan dia sekarang juga tidak menunjukkan tanda-tanda seperti seorang wanita yang sudah bersuami. Pertanyaan itu berlalu di kepalaku tanpa ada jawaban karrna aku pun tidak bertanya kepadanya atau kepada siapapun. Karena seperti komitmen yang telah kubuat, aku tidak akan lagi peduli padanya.
Usai reuni itu akupun langsung menuju bandara dan kembali ke kota tempatku bekerja. sudah dua minggu sejak hari itu, tiba-tiba HP-ku menyuarakan nada pesan singkat dan tak kusangka ini dari Shovi. Segera kubaca isinya, “Sudah sampai Palembang mas?” Aku sempat menebak-nebak maksudnya mengirimiku SMS. Tapi kuputuskan untuk meresponya biasa saja, dan kujawab “Iya sudah.” Tak kusangka sangka saling berkirim SMS ini pun berlanjut dan mengantarku Sampai pada keinginan untuk mengungkapkan perasaan yang dulu telah kupendam dalam-dalam. Aku cukup berhati-hati menuliskan kalimat yang akan kusampaikan ini. Hingga berbagai kiasan yang sebisa mungkin menutupi maksud utamaku kupertimbangkan untuk kugunakan. Namun, saat ini aku sudah merasa ‘Inilah saatnya’ menyatakan perasaanku. Apapun responya aku ingin tahu jawbanya.
Terang saja, meski saat itu kami sedang membicarakan tentang bagaimana kiat-kiatku lolos dalam wawancara kerja, dengan jantung yang berdegub kencang seperti genderang aku menyelipkan sebuah pertanyaan, “Jadi, apakah saya diterima Bu?” candaku. Tak lama, kuterima pesan singkat yang tak terduga darinya “Asalkan Bapak setia, saya terima.” Betapa senangnya hatiku membaca pesan ini. Dan pesan inilah yang menjadi awal dari hubungan kami. Kami pun semakin dekat dan akhirnya pada tanggal 14 Mei 2012 aku resmi mengambil tanggung jawab atas dirinya dari kedua orangtuanya. Dulu kufikir kesetiaanku sia-sia. Namun kini 29 Januari 2013 aku menimang hasilnya. Kugendong banyi mungil berkulit putih bersih yang memiliki mata seperti mataku dan memiliki bibir seperti bibir Shovi. Aku bersyukur karena aku tidak menyerah dulu. Kini sore hari sepulangku bekerja aku tidak hanya melihat bidadari senja, tapi juga matahari mungil.
Bukittinggi, 10 Oktober 2013
Luluk Shoviana
Luluk Shoviana
Cerpen Karangan: Luluk Shoviana
Facebook: luluk shoviana
Facebook: luluk shoviana
Penulis lahir di Kab.Banyuwangi 15 Juli 1988. Anak ke-6 dari 6 bersaudara ini kini tinggal di Bukittinggi Sumatera Barat bersama Muh.Adi Prasetyo (suami) dan Favian Raffan Aqhar Prasetyo (anak). Semasa kuliah penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiswa dan menjadi salah satu lulus terbaik jurusan Psikologi Klinis di Universitas Negeri Semarang.ketertarikan terhadap dunia tulis menulis sudah dimiliki penulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa novel, cerpen, artikel dan komik pernah penulis hasilkan dan beberapa pernah diterbitkan. saat ini penulis ingin lebih mengembangkan lagi kemampuan menulisnya melalui media cerpenmu.con. Semoga kedepanya penulis bisa menghasilkan karya lebih banyak dan berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar