It was a long time ago
Before you walk out the door
And leave me this way
Just hear what i say
(Westlife – You make me feel)
Before you walk out the door
And leave me this way
Just hear what i say
(Westlife – You make me feel)
Charice berlari cepat menuruni tangga, Sebelah tangannya memegang sebuah buku besar. Ia berlari tanpa peduli orang-orang yang duduk di anak-anak tangga yang sedang ia lewati. Charice memang sedang mengejar seseorang.
Charice berhenti berlari ketika kakinya tepat menginjak lapangan basket. Kedua matanya mengawasi semua orang yang ada di lapangan tersebut, Matanya berhenti pada satu sosok, Pria berkulit putih bersih yang sedang menenteng bola basket dan juga sedang memandangi Charice.
Charice berhenti berlari ketika kakinya tepat menginjak lapangan basket. Kedua matanya mengawasi semua orang yang ada di lapangan tersebut, Matanya berhenti pada satu sosok, Pria berkulit putih bersih yang sedang menenteng bola basket dan juga sedang memandangi Charice.
Perlahan Charice menggerakkan kakinya yang terasa kaku menuju ke arah Pria itu. Dan kini mereka berhenti melakukan segala macam kegiatan masing-masing, Mereka berdiri salingberhadapan. Demi Tuhan, apa yang sedang terjadi?
Teman-teman Raesin menatap temannya dengan pandangan bertanya.
“Sin,” Gumam Charice.
“Ada apa?” Tanya Raesin dengan lembut.
“Aku,” Kata Charice ragu-ragu.
Kening Raesin berkerut. Ada apa dengan gadis ini?, Katanya. “Kamu kenapa?”
“Aku, aku ingin mengembalikan buku fisika mu. Makasih ya,” Kata Charice sembari memberi buku Catatan Raesin.
Terdengar gelak tawa dari teman-teman Raesin. Raesin menghelakan nafasnya berat, Ia lalu tersenyum lalu mengambil buku fisikanya dari Charice.
“Charice, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan buku ini. Kita bisa bertemu di kelas kan?” Tanya Raesin dengan nada suara datar.
Charice tersipu malu. Katanya, “Sin, aku pergi ya,” Ujarnya segera berlari menuju tangga.
Raesin mengeleng. Aku pikir ia ingin bilang ‘suka’. Huh. Batin Raesin. Segera ia menyembunyikan buku fisikanya di antara baju seragamnya, lalu ia kembali pada teman-temannya.
Teman-teman Raesin menatap temannya dengan pandangan bertanya.
“Sin,” Gumam Charice.
“Ada apa?” Tanya Raesin dengan lembut.
“Aku,” Kata Charice ragu-ragu.
Kening Raesin berkerut. Ada apa dengan gadis ini?, Katanya. “Kamu kenapa?”
“Aku, aku ingin mengembalikan buku fisika mu. Makasih ya,” Kata Charice sembari memberi buku Catatan Raesin.
Terdengar gelak tawa dari teman-teman Raesin. Raesin menghelakan nafasnya berat, Ia lalu tersenyum lalu mengambil buku fisikanya dari Charice.
“Charice, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan buku ini. Kita bisa bertemu di kelas kan?” Tanya Raesin dengan nada suara datar.
Charice tersipu malu. Katanya, “Sin, aku pergi ya,” Ujarnya segera berlari menuju tangga.
Raesin mengeleng. Aku pikir ia ingin bilang ‘suka’. Huh. Batin Raesin. Segera ia menyembunyikan buku fisikanya di antara baju seragamnya, lalu ia kembali pada teman-temannya.
“Charice itu gadis yang aneh ya,” Kata Soumura sembari tertawa.
Haical menganguk cepat, membenarkan perkataan Soumura. Katanya, “Benar. Charice Kimikura, gadis cantik yang tertutup.” Ujarnya, Rupannya Pria berdarah Indonesia itu tahu banyak tentang Charice.
Raesin hanya terdiam sembari mendengar cerita-cerita teman-temannya. Kyo-Lee yang sedang membelakangi teman-temannya berbalik dan menatap Raesin penuh tanya.
“Tapi dia kok, bisa sesantai itu bila dengan kau?” Katanya pada Raesin yang dijawab dengan juluran lidah dari Raesin.
“Makanya keren dong.” Ejek Haical pada Kyo-Lee, Pria asal Korea yang kebetulan mendapat beasiswa untuk bersekolah di Jepang.
Raesin hanya senyum-senyum ketika mendengar teman-temannya memujinya. Lalu ia segera menegadah melihat kelasnya yang berada di tingkat dua, tanpa sengaja matanya menangkap tatapan seseorang ke arahnya.
Charice! Teriak Raesin dalam hati. Perlahan ia mengangkat sebelah tanganya ke arah Charice dan tersenyum sekeren mungkin, tapi Charice malah kabur begitu saja tanpa membalas lambaian Raesin.
“SIAL!”
Haical menganguk cepat, membenarkan perkataan Soumura. Katanya, “Benar. Charice Kimikura, gadis cantik yang tertutup.” Ujarnya, Rupannya Pria berdarah Indonesia itu tahu banyak tentang Charice.
Raesin hanya terdiam sembari mendengar cerita-cerita teman-temannya. Kyo-Lee yang sedang membelakangi teman-temannya berbalik dan menatap Raesin penuh tanya.
“Tapi dia kok, bisa sesantai itu bila dengan kau?” Katanya pada Raesin yang dijawab dengan juluran lidah dari Raesin.
“Makanya keren dong.” Ejek Haical pada Kyo-Lee, Pria asal Korea yang kebetulan mendapat beasiswa untuk bersekolah di Jepang.
Raesin hanya senyum-senyum ketika mendengar teman-temannya memujinya. Lalu ia segera menegadah melihat kelasnya yang berada di tingkat dua, tanpa sengaja matanya menangkap tatapan seseorang ke arahnya.
Charice! Teriak Raesin dalam hati. Perlahan ia mengangkat sebelah tanganya ke arah Charice dan tersenyum sekeren mungkin, tapi Charice malah kabur begitu saja tanpa membalas lambaian Raesin.
“SIAL!”
—
“I SAID, I LOVE YOU, I LOVE YOU
BUT NOW I REGRET IT
I SAID, I LOVE YOU, I LOVE YOU
BUT I’M SORRY, I SAIT IT”
Perlahan Charice mulai bernyanyi. Suaranya mengelegar, mengemparkan seisi kelas yang sepi dan untung saja tak ada seorang pun di dalam kelas selain Dirinya.
“BUT WHAT’S DONE IS DONE
I CAN’T UNDO WHAT’S DONE
DON’T WANT TO HURT THIS THING
WE’VE JUST BEGUN
I KNOW I’VE SAID IT
BUT CAN WE FORGET IT?”
Raesin memasang telinganya baik-baik, mendegar suara lembut yang mengalunkan sebuah nyanyian. Itu suara Charice! Kenyataan itu membuat Raesin lupa caranya bernafas lagi. Ia tampak ragu untuk memutar kenop pintu kelasnya, Nafasnya beradu cepat seperti hendak berperang.
“Sin, Kau kah itu? Masuk lah.”
Raesin tersentak kaget saat mendengar namanya dipanggil. Namun ia memutar juga kenop pintu kelasnya. Ia tersenyum hambar ke arah Charice.
“Kenapa bersembunyi?” Tanya Charice yang sedang duduk di bangkunya.
Raesin berjalan kaku ke arah bangku duduknya, Meletakkan tasnya di atas meja. Katanya, “Aku tidak bersembunyi, Charice.” Jawabnya.
“Wah, kau salah mengikat dasi, Sin.” Ujar Charice yang sudah berdiri di samping meja Raesin. Perlahan jemari lentur Charice menari di antara kerah baju seragam Raesin, Mengikat ulang dasi Raesin.
BUT NOW I REGRET IT
I SAID, I LOVE YOU, I LOVE YOU
BUT I’M SORRY, I SAIT IT”
Perlahan Charice mulai bernyanyi. Suaranya mengelegar, mengemparkan seisi kelas yang sepi dan untung saja tak ada seorang pun di dalam kelas selain Dirinya.
“BUT WHAT’S DONE IS DONE
I CAN’T UNDO WHAT’S DONE
DON’T WANT TO HURT THIS THING
WE’VE JUST BEGUN
I KNOW I’VE SAID IT
BUT CAN WE FORGET IT?”
Raesin memasang telinganya baik-baik, mendegar suara lembut yang mengalunkan sebuah nyanyian. Itu suara Charice! Kenyataan itu membuat Raesin lupa caranya bernafas lagi. Ia tampak ragu untuk memutar kenop pintu kelasnya, Nafasnya beradu cepat seperti hendak berperang.
“Sin, Kau kah itu? Masuk lah.”
Raesin tersentak kaget saat mendengar namanya dipanggil. Namun ia memutar juga kenop pintu kelasnya. Ia tersenyum hambar ke arah Charice.
“Kenapa bersembunyi?” Tanya Charice yang sedang duduk di bangkunya.
Raesin berjalan kaku ke arah bangku duduknya, Meletakkan tasnya di atas meja. Katanya, “Aku tidak bersembunyi, Charice.” Jawabnya.
“Wah, kau salah mengikat dasi, Sin.” Ujar Charice yang sudah berdiri di samping meja Raesin. Perlahan jemari lentur Charice menari di antara kerah baju seragam Raesin, Mengikat ulang dasi Raesin.
Raesin hanya sibuk menata hatinya yang hampir berlari keluar dari badannya. Kedua bola mata Raesin mencuri-curi pandang ke arah Charice.
“Nah, sudah selesai. Kau payah, Sin.” Ejek Charice setelah selesai memperbaiki dasi Raesin.
“Kok kau bisa tahu tadi itu aku?” Tanya Raesin mengalihkan pembicaraan.
Charice tersenyum, sembari berjalan meninggalkan bangku duduk Raesin. Katanya, “Pasti aku tahu, Sin. Kau selalu datang jam 5 seperti ini kan?” Jawab Charice cuek.
“Kau tahu kebiasaan ku itu?,” Tanya Raesin histeris. Ia melanjutkan perkataannya ketika Charice menganguk. Katanya, “Tidak bisa dipercaya.”
Charice tertawa keras membuat kedua lesung pipinya yang selalu tersembunyi itu bersembul. Membuat Raesin tertarik untuk duduk di sebelahnya dan mendengar semua cerita-ceritanya.
“Kau punya lesung pipi?” Tanya Raesin yang sudah duduk tepat di samping Charice. Gadis itu tampak kaget ketika melihat Raesin sudah berada tepat di sampingnya.
“Aku punya sih,” Jawab Charice ragu.
“Tapi kenapa kau tidak pernah perlihatkan keindahan dirimu?,” Tanya Raesin sembari menatap Charice seserius mungkin. “Berarti aku orang pertama yang beruntung melihatmu tertawa.”
Charice hanya terdiam. Ia merenung sejenak. Lalu sebuah senyuman kebahagiaan menguak membuatnya ingin selalu tertawa, ‘SEPERTI DULU’.
“Kau mau aku selalu tertawa?” Tanya Charice.
Raesin tersenyum. Katanya, “Ya. Seperti sekarang ini, selalu dan selalu.”
“Baik lah, demi Sin, Charice akan selalu tertawa.”
Kemudian mereka saling berpandangan cukup lama. Tiba-tiba Charice tertawa dan menyengol lengan Raesin.
“Aku, aku, aku men,” Perkataan Charice terpotong saat Raesin dengan gerakan cepat memiringkan kepalanya, mencium ujung bibir Charice.
“Nah, sudah selesai. Kau payah, Sin.” Ejek Charice setelah selesai memperbaiki dasi Raesin.
“Kok kau bisa tahu tadi itu aku?” Tanya Raesin mengalihkan pembicaraan.
Charice tersenyum, sembari berjalan meninggalkan bangku duduk Raesin. Katanya, “Pasti aku tahu, Sin. Kau selalu datang jam 5 seperti ini kan?” Jawab Charice cuek.
“Kau tahu kebiasaan ku itu?,” Tanya Raesin histeris. Ia melanjutkan perkataannya ketika Charice menganguk. Katanya, “Tidak bisa dipercaya.”
Charice tertawa keras membuat kedua lesung pipinya yang selalu tersembunyi itu bersembul. Membuat Raesin tertarik untuk duduk di sebelahnya dan mendengar semua cerita-ceritanya.
“Kau punya lesung pipi?” Tanya Raesin yang sudah duduk tepat di samping Charice. Gadis itu tampak kaget ketika melihat Raesin sudah berada tepat di sampingnya.
“Aku punya sih,” Jawab Charice ragu.
“Tapi kenapa kau tidak pernah perlihatkan keindahan dirimu?,” Tanya Raesin sembari menatap Charice seserius mungkin. “Berarti aku orang pertama yang beruntung melihatmu tertawa.”
Charice hanya terdiam. Ia merenung sejenak. Lalu sebuah senyuman kebahagiaan menguak membuatnya ingin selalu tertawa, ‘SEPERTI DULU’.
“Kau mau aku selalu tertawa?” Tanya Charice.
Raesin tersenyum. Katanya, “Ya. Seperti sekarang ini, selalu dan selalu.”
“Baik lah, demi Sin, Charice akan selalu tertawa.”
Kemudian mereka saling berpandangan cukup lama. Tiba-tiba Charice tertawa dan menyengol lengan Raesin.
“Aku, aku, aku men,” Perkataan Charice terpotong saat Raesin dengan gerakan cepat memiringkan kepalanya, mencium ujung bibir Charice.
—
Charice meninju-ninju meja cafe dengan kesal. Hari ini dia janjian berkencan dengan Clinton, Kekasihnya yang baru pulang dari London. Tetapi yang di nanti Charice tak kunjung muncul. Huh, kalau tahu begini jadinya, aku pergi sekolah saja hari ini untuk bisa melihat Sin.
Perlahan jemari Charice bergerak menuju ujung bibirnya. Hm, tempat ini yang dicium, Sin. Wah, andai-.
“Charice, kau sedang apa disini?” Tanya Haical yang pada kenyataannya adalah Sahabat Charice selama ia berada di jepang. Haical segera menarik kursi di hadapan Charice dan duduk mematung menatap Charice.
“Kau menunggunya?” Tanya Haical dengan wajah berkabut, sedih.
Charice menganguk. Air bening itu berjatuhan dari pelupuk matanya, Lalu ia segera menghapusnya dan tersenyum hambar. Katanya, “Aku tidak boleh nangis kan Haical? Kita harus kuat untuk orang yang Kita cintai, Iya kan? Lagian aku udah janji pada Sin untuk selalu tertawa.” Ujar Charice sembari terisak pelan.
“Dia lelaki yang tidak pantas untuk kau tangisi Charice. Sudah cukup kau disakiti, Kalau kau terus menunggu, Kapan kau akan bahagia, Charice?,” Tanya Haical penuh emosi. Perlahan ia mengepalkan tangannya. Lanjutnya, “Akan ku patahkan kakinya, agar ia tidak pergi-pergi lagi, Charice. Kau lihat saja,”
Charice memegang tangan Sahabatnya itu, Ia lalu tersenyum untuk menjelaskan bahwa ia baik-baik saja. “Aku baik-baik saja kok. Sekarang bagiku yang terpenting adalah kebahagiaan.”
“Ya. Pria seperti Clinton itu tidak pernah bisa menjanjikan kebahagiaan untukmu.”
Tetapi kenyataannya malah terbalik. Charice menangis tersedu-sedu mengundang perhatian dari pengunjung cafe yang lain.
“Kau berjanji untuk tidak menangis lagi pada Raesin kan? Berhentilah menagis, Charice. SOMEBODY TO LOVING YOU, Nggak perlu menangis untuk Pria yang nggak mampu membahagiakan kamu,” Ujar Haical dengan logat Indonesianya.
“Kau tahu? SOMEONE TO SAY LOVE YOU. NOW AND FOREVER, yang bisa memberikan dan mempertaruhkan segalanya untuk kebahagiaanmu.” Lanjut Haical yang membuat Sahabatnya itu berhenti menangis.
“Who he, Haical?”
“Raesin,”
Charice akhirnya tertawa namun itu membuat Haical kebingungan. Ternyata Sahabatku ini juga tak mudah ditebak. batin Haical.
“Kau tahu, kenapa aku menangis?”
Haical mengeleng.
“Karena dari dulu aku sudah melupakan Clinton, hanya saja karena tidak bisa bertemu dengannya untuk memutuskan hubungan kami, aku jadi bersedih, Haical.” Jelas Charice.
“Kenapa tidak pernah cerita?”
“Karena sosok itu adalah teman dekatmu juga. Aku tahu kau tidak akan tutup mulut jika tahu hal itu,”
Tawa Haical pecah sudah. Ia segera menarik Charice meninggalkan cafe. Charice tampak bingung namun tetap saja mengandeng tangan sahabatnya itu, sembari tersenyum.
“Charice, kau sedang apa disini?” Tanya Haical yang pada kenyataannya adalah Sahabat Charice selama ia berada di jepang. Haical segera menarik kursi di hadapan Charice dan duduk mematung menatap Charice.
“Kau menunggunya?” Tanya Haical dengan wajah berkabut, sedih.
Charice menganguk. Air bening itu berjatuhan dari pelupuk matanya, Lalu ia segera menghapusnya dan tersenyum hambar. Katanya, “Aku tidak boleh nangis kan Haical? Kita harus kuat untuk orang yang Kita cintai, Iya kan? Lagian aku udah janji pada Sin untuk selalu tertawa.” Ujar Charice sembari terisak pelan.
“Dia lelaki yang tidak pantas untuk kau tangisi Charice. Sudah cukup kau disakiti, Kalau kau terus menunggu, Kapan kau akan bahagia, Charice?,” Tanya Haical penuh emosi. Perlahan ia mengepalkan tangannya. Lanjutnya, “Akan ku patahkan kakinya, agar ia tidak pergi-pergi lagi, Charice. Kau lihat saja,”
Charice memegang tangan Sahabatnya itu, Ia lalu tersenyum untuk menjelaskan bahwa ia baik-baik saja. “Aku baik-baik saja kok. Sekarang bagiku yang terpenting adalah kebahagiaan.”
“Ya. Pria seperti Clinton itu tidak pernah bisa menjanjikan kebahagiaan untukmu.”
Tetapi kenyataannya malah terbalik. Charice menangis tersedu-sedu mengundang perhatian dari pengunjung cafe yang lain.
“Kau berjanji untuk tidak menangis lagi pada Raesin kan? Berhentilah menagis, Charice. SOMEBODY TO LOVING YOU, Nggak perlu menangis untuk Pria yang nggak mampu membahagiakan kamu,” Ujar Haical dengan logat Indonesianya.
“Kau tahu? SOMEONE TO SAY LOVE YOU. NOW AND FOREVER, yang bisa memberikan dan mempertaruhkan segalanya untuk kebahagiaanmu.” Lanjut Haical yang membuat Sahabatnya itu berhenti menangis.
“Who he, Haical?”
“Raesin,”
Charice akhirnya tertawa namun itu membuat Haical kebingungan. Ternyata Sahabatku ini juga tak mudah ditebak. batin Haical.
“Kau tahu, kenapa aku menangis?”
Haical mengeleng.
“Karena dari dulu aku sudah melupakan Clinton, hanya saja karena tidak bisa bertemu dengannya untuk memutuskan hubungan kami, aku jadi bersedih, Haical.” Jelas Charice.
“Kenapa tidak pernah cerita?”
“Karena sosok itu adalah teman dekatmu juga. Aku tahu kau tidak akan tutup mulut jika tahu hal itu,”
Tawa Haical pecah sudah. Ia segera menarik Charice meninggalkan cafe. Charice tampak bingung namun tetap saja mengandeng tangan sahabatnya itu, sembari tersenyum.
Dan di ujung jalan, Raesin menunggu mereka berdua dengan masih mengenakan baju serangam.
Charice berhenti berjalan saat melihat Raesin di ujung jalan. Haical segera menyengol Charice, sembari mendorong sahabatnya itu ke depan.
“Pergi, Charice. Jemput kebahagiaanmu itu, dan kita akan bertemu lagi.” Perkataan itu membuat Charice berbalik kembali dan memeluk Haical.
“Kau yang harus bertangung jawab, jika aku terluka nanti.” Bisik Charice melepaskan pelukannya.
“Aku jamin hal itu tidak akan terjadi, Adikku.”
Charice tersenyum, kemudian berjalan maju meninggalkan Haical untuk menyambut kebahagiaannya.
Charice berhenti berjalan saat melihat Raesin di ujung jalan. Haical segera menyengol Charice, sembari mendorong sahabatnya itu ke depan.
“Pergi, Charice. Jemput kebahagiaanmu itu, dan kita akan bertemu lagi.” Perkataan itu membuat Charice berbalik kembali dan memeluk Haical.
“Kau yang harus bertangung jawab, jika aku terluka nanti.” Bisik Charice melepaskan pelukannya.
“Aku jamin hal itu tidak akan terjadi, Adikku.”
Charice tersenyum, kemudian berjalan maju meninggalkan Haical untuk menyambut kebahagiaannya.
Raesin berdiri kaku ketika Charice benar-benar berada di hadapannya. Tetapi melihat Charice tersenyum, ia jadi ingin membahagiakan gadis itu.
Charice semakin mendekat ke arah Reasin, lalu perlahan menjinjit dan mendaratkan sebuah ciuman di bibir Reasin. Katanya, “Aku menyukaimu, Sin.”
“Ayo, bersama aku menjemput kebahagiaan,” Kata Raesin mengulurkan tangannya ke arah Charice. Gadis cantik itu menyambut uluran tangan itu dengan airmata berlinang.
Charice semakin mendekat ke arah Reasin, lalu perlahan menjinjit dan mendaratkan sebuah ciuman di bibir Reasin. Katanya, “Aku menyukaimu, Sin.”
“Ayo, bersama aku menjemput kebahagiaan,” Kata Raesin mengulurkan tangannya ke arah Charice. Gadis cantik itu menyambut uluran tangan itu dengan airmata berlinang.
4 TAHUN kemudian.
“Haical, siapkan baju pengantin ya,” Ujar suara di seberang sana.
Haical lebih mendekatkan ponselnya pada telingannya. Katanya, “Apa? untuk apa? Ngomong yang jelas, Charice.” Tanyanya berpura-pura.
“Kau bisa kan siapkan baju pengantin?”
“Apa?”
“HAICAL!”
“Haha, Maaf Charice. Sudah lama tidak melihatmu marah,”
“Jadi kau mau aku marah terus, Kakak?”
“Oh, tidak adik ku sayang. Oh, ya, siapkan baju pengantin untuk siapa?”
“Untuk Bibimu, Untuk Aku, Haical.”
“Kau akan menikah?”
“Ya! Kau pura-pura tidak mengerti ya?” Tanya Charice dengan logat Korea yang kental.
“Oh, jangan mentang-mentang sudah di Korea jadi kau melupakan logat Kansai, Charice.” Tawa Haical.
“Kau itu,” Ujar Charice kesal, Ingin sekali ia memencet tombol merah di ponselnya namun itu bukanlah solusi yang baik untuk mewujudkan mimpinya.
“Aku ingin kau merancang baju pengantiku, Haical. Apa gunanya kau sekolah fasion desinger kalau tak mau merancang baju penganti untukku, Haical.”
Haical tertawa keras. Katanya, “Kau tahu, Sin sudah menelponku sebulan yang lalu. Ia bilang kau ingin baju pengantinmu aku yang rancang,. Aku heran deh, pernikahannya saja masih seminggu lagi, tapi kok, kau-”
“Kau mau merancangnya tidak sih?”
“Hahaha, Iya, aku akan merancangnya. Baju pengantin paling indah dari yang pernah aku keluarkan. Kau percaya, Charice?”
“Oh, terima kasih, Haical. Kau memang Kakak yang bisa diandalkan.”
“Apa? Jadi selama ini aku tidak berguna ya?”
“Bukan begitu. Sudahlah, aku tidak mau bertengkar denganmu, itu hanya membuat baju pengantinku tidak akan kelar.”
“Oh, kau,”
“Sudah, Haical. Oh ya, Terima kasih sekali lagi ya, Ternyata aku benar-benar bahagia sejak saat itu.”
“Kau bahagia itulah yang membuat aku bertahan disini. Kau tahu, sulit tanpa kau di jepang ini, aku sendiri tahu. Tapi mengingat kebahagiaanmu, aku jadi ingin belajar, sendiri.”
“Ya. Aku bersyukur, menjadi adik gadunganMu.”
“SIALAN.”
“Eh, jangan marah-marah. Kau mau jadi Pastor untuk kami tidak?”
“Hah, kau serius? Kenapa tidak memakai Pastor beneran?”
“Aku maunya kau, Haical.”
“Ya sudah, nanti aku bahas ini dengan Sin. Kau sehat-sehat saja disana ya,”
“Kau juga, Haical. Cepat susul aku, Ya.”
“Iya.”
“Haical, siapkan baju pengantin ya,” Ujar suara di seberang sana.
Haical lebih mendekatkan ponselnya pada telingannya. Katanya, “Apa? untuk apa? Ngomong yang jelas, Charice.” Tanyanya berpura-pura.
“Kau bisa kan siapkan baju pengantin?”
“Apa?”
“HAICAL!”
“Haha, Maaf Charice. Sudah lama tidak melihatmu marah,”
“Jadi kau mau aku marah terus, Kakak?”
“Oh, tidak adik ku sayang. Oh, ya, siapkan baju pengantin untuk siapa?”
“Untuk Bibimu, Untuk Aku, Haical.”
“Kau akan menikah?”
“Ya! Kau pura-pura tidak mengerti ya?” Tanya Charice dengan logat Korea yang kental.
“Oh, jangan mentang-mentang sudah di Korea jadi kau melupakan logat Kansai, Charice.” Tawa Haical.
“Kau itu,” Ujar Charice kesal, Ingin sekali ia memencet tombol merah di ponselnya namun itu bukanlah solusi yang baik untuk mewujudkan mimpinya.
“Aku ingin kau merancang baju pengantiku, Haical. Apa gunanya kau sekolah fasion desinger kalau tak mau merancang baju penganti untukku, Haical.”
Haical tertawa keras. Katanya, “Kau tahu, Sin sudah menelponku sebulan yang lalu. Ia bilang kau ingin baju pengantinmu aku yang rancang,. Aku heran deh, pernikahannya saja masih seminggu lagi, tapi kok, kau-”
“Kau mau merancangnya tidak sih?”
“Hahaha, Iya, aku akan merancangnya. Baju pengantin paling indah dari yang pernah aku keluarkan. Kau percaya, Charice?”
“Oh, terima kasih, Haical. Kau memang Kakak yang bisa diandalkan.”
“Apa? Jadi selama ini aku tidak berguna ya?”
“Bukan begitu. Sudahlah, aku tidak mau bertengkar denganmu, itu hanya membuat baju pengantinku tidak akan kelar.”
“Oh, kau,”
“Sudah, Haical. Oh ya, Terima kasih sekali lagi ya, Ternyata aku benar-benar bahagia sejak saat itu.”
“Kau bahagia itulah yang membuat aku bertahan disini. Kau tahu, sulit tanpa kau di jepang ini, aku sendiri tahu. Tapi mengingat kebahagiaanmu, aku jadi ingin belajar, sendiri.”
“Ya. Aku bersyukur, menjadi adik gadunganMu.”
“SIALAN.”
“Eh, jangan marah-marah. Kau mau jadi Pastor untuk kami tidak?”
“Hah, kau serius? Kenapa tidak memakai Pastor beneran?”
“Aku maunya kau, Haical.”
“Ya sudah, nanti aku bahas ini dengan Sin. Kau sehat-sehat saja disana ya,”
“Kau juga, Haical. Cepat susul aku, Ya.”
“Iya.”
Haical menatap ponselnya, wajahnya nampak ceria. Sebuat tangan memeluk dada Haical dari arah belakang.
“Ada apa, Haical?” Tanya Gadis berambut lurus legam berwarna hitam itu.
“Bagaimana kalau kita menikah?”
“Apa? Kau tidak demam semalam kan?” Tanya Sunya Lee kaget sembari melepas tanganya.
“Kenapa kaget seperti itu? Kau tidak mau?”
“Aku tidak percaya kalau ini kau, Haical. Kau biasanya menolak kalau aku membicarakan masa depan kita, ”
Haical memeluk Sunya lalu mencium kening gadis itu. Katanya, “Aku ingin kau bahagia, Sunya.”
Air bening itu mengalir begitu saja di kedua pipi Sunya. Detik ini dia jadi ingin terus merasa bahagia seperti ini.
“Maukah kau menikah dengan ku, Sunya Lee?”
Sunya menganguk. Katanya, “Kau ingat sekarang umur umur kita berapa tahun?”
“hm, Berapa ya, 23 Tahun. Ada apa?”
“Umur yang sangat muda untuk menikah, Haical.”
“Kau dulu yang bersemangat ingin menikah kan? Nah sekarang tidak ada kata ‘MENOLAK’ ”
“Siapa yang mau menolak sih? Kau ini aneh deh,”
“Tapi aku bahagia, Haical. Terima kasih.” Lanjut Sunya.
“Wah, berarti merancang busana pengantinnya dua pasang dong,”
“Hah? untuk siapa lagi?”
“Kau dan aku, Sin dan Charice.”
“Ada apa, Haical?” Tanya Gadis berambut lurus legam berwarna hitam itu.
“Bagaimana kalau kita menikah?”
“Apa? Kau tidak demam semalam kan?” Tanya Sunya Lee kaget sembari melepas tanganya.
“Kenapa kaget seperti itu? Kau tidak mau?”
“Aku tidak percaya kalau ini kau, Haical. Kau biasanya menolak kalau aku membicarakan masa depan kita, ”
Haical memeluk Sunya lalu mencium kening gadis itu. Katanya, “Aku ingin kau bahagia, Sunya.”
Air bening itu mengalir begitu saja di kedua pipi Sunya. Detik ini dia jadi ingin terus merasa bahagia seperti ini.
“Maukah kau menikah dengan ku, Sunya Lee?”
Sunya menganguk. Katanya, “Kau ingat sekarang umur umur kita berapa tahun?”
“hm, Berapa ya, 23 Tahun. Ada apa?”
“Umur yang sangat muda untuk menikah, Haical.”
“Kau dulu yang bersemangat ingin menikah kan? Nah sekarang tidak ada kata ‘MENOLAK’ ”
“Siapa yang mau menolak sih? Kau ini aneh deh,”
“Tapi aku bahagia, Haical. Terima kasih.” Lanjut Sunya.
“Wah, berarti merancang busana pengantinnya dua pasang dong,”
“Hah? untuk siapa lagi?”
“Kau dan aku, Sin dan Charice.”
SELESAI
Cerpen Karangan: Bunga Salju
Facebook: Bunga salju ( Kenni’e woonds)
Facebook: Bunga salju ( Kenni’e woonds)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar